Apabila kita cermati munculnya fenomena aliran dan pemahaman yang
menyimpang di kalangan umat Islam -seperti halnya kasus yang sedang
banyak dibicarakan yaitu tentang terorisme berkedok jihad- boleh jadi
akan banyak orang yang merasa heran bercampur kebingungan. Bagaimana
bisa orang yang dikenal rajin beribadah, aktif mengikuti kegiatan
keagamaan, dan menunjukkan semangat yang tinggi dalam berislam ikut
terseret dalam pemahaman yang sesat?
Jawabannya tentu tidak sulit. Sebab bagaimana pun juga semangat
keberagamaan yang tidak dilandasi dengan ilmu yang benar tidaklah
mencukupi. Bahkan hal itu bisa membahayakan diri sendiri serta orang
lain. Oleh sebab itu, sebagian ulama salaf memperingatkan, "Barang siapa
yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka apa yang dirusaknya lebih
banyak daripada yang diperbaiki."
Nah, mungkin ada orang yang mengatakan, "Bukankah mereka itu juga
mempelajari al-Qur'an dan hadits, bahkan sudah jadi ustadz. Lalu di mana
letak kesalahannya?"
Saudaraku sekalian, semoga Allah menambahkan kepada kita curahan
petunjuk dan bimbingan-Nya. Seringkali kita lihat bahwa ternyata orang-
orang yang menyimpang itu juga membawakan dalil ayat ataupun hadits
untuk membela kekeliruan mereka. Sehingga orang yang tidak paham bisa
saja akan mengiyakan dan minimal 'memaklumi' apa yang mereka lakukan.
Apalagi kalau yang berbicara adalah sosok yang dianggap sebagai kyai dan
ditokohkan oleh banyak orang. Sederhana saja, dia cukup mengatakan
bahwa itu 'kan hasil ijtihad mereka, dan orang yang berijtihad itu
meskipun salah ya tetap berpahala. Intinya mereka yang melakukan bom
bunuh diri dan peledakan gedung itu tidak boleh disalahkan. Lha wong
mereka itu mujahid kok, itulah inti yang dia maksudkan.
Mencomot ayat demi mendukung paham sesat
Sebenarnya perbuatan mencomot ayat atau hadits dan memelintirnya demi
kepentingan membela pemikiran menyimpang bukanlah perkara baru. Kita
masih ingat bagaimana dahulu di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu'anhu orang- orang yang menganut paham Khawarij/pemberontak
mengusung ayat inil hukmu illa lillah, artinya tidak ada hukum kecuali
hukum Allah. Ayat itu mereka salah gunakan untuk mengkafirkan pemerintah
yang berkuasa ketika itu yaitu Ali bin Abi Thalib karena mereka
menganggap beliau tidak berhukum dengan hukum Allah.
Padahal apa yang beliau lakukan sama sekali tidak melanggar hukum Allah
bahkan didukung oleh dalil dari al-Qur'an dan as- Sunnah, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma ketika mendebat
orang-orang Khawarij. Menghadapi tudingan itu, dengan cerdas Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu'anhu mengomentari sikap mereka yang tidak bisa
memahami ayat secara utuh,
كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيدَ بِهَا بَاطِلٌ
"Itu adalah ucapan yang benar, namun maksudnya batil." (HR. Muslim dari
Ubaidullah bin Abi Rafi' radhiyallahu'anhu)
Dari kejadian ini, kita bisa memetik pelajaran berharga bahwa
semata-mata membawakan ayat atau hadits untuk mendukung suatu pendapat
atau keyakinan tidaklah cukup apabila tidak diiringi dengan pemahaman
serta metode penarikan kesimpulan hukum/istidlal dan istinbath yang
benar.
Selain kejadian di atas, sebenarnya masih banyak contoh lainnya. Di
antaranya adalah model penafsiran (lebih tepat dikatakan pemelintiran)
makna 'Islam' yang dilakukan oleh penganut ajaran Islam Liberal. Mereka
mengatakan bahwa istilah islam atau muslim itu tidak hanya mencakup
pemeluk agama Islam. Menurut anggapan mereka, Islam adalah bentuk
kepasrahan diri kepada Yang Maha benar, yaitu Allah. Maka di masa
sekarang ini -menurut keyakinan mereka- siapa saja dan dari agama mana
pun bisa menjadi muslim tanpa harus mengikuti agama Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam. Bagi mereka cukuplah seorang dikatakan
sebagai muslim jika meyakini Allah itu ada dan meyakini adanya hari
akhir yang mereka tafsirkan dengan masa depan. Padahal, kita semua sudah
sama-sama mengerti bahwa Islam yang diterima oleh Allah -setelah
diutusnya Rasulullah- adalah apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ
الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
"Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan- Nya, tidaklah ada
seorang pun yang mendengar kenabianku di kalangan umat ini, baik Yahudi
ataupun Nasrani kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan
ajaranku ini niscaya dia akan tergolong penduduk neraka." (HR. Muslim
dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu)
Demikian pula banyak orang yang meyakini bahwa Allah itu ada di
mana-mana. Mereka membawakan ayat wahuwa ma'akum ainama kuntum, "Dan Dia
bersama kalian di mana pun kalian berada." Padahal Allah ta'ala sendiri
telah menegaskan dalam banyak ayat demikian pula Nabi dalam banyak
hadits bahwa Allah itu tinggi berada di atas langit, di atas Arsy-Nya.
Secara naluri dan fitrah, ketika orang berdoa niscaya dia akan
menengadahkan telapak tangannya dan mengangkatnya ke atas, bahkan
sampai-sampai ada yang mendongakkan kepalanya. Apa itu artinya? Artinya
setiap orang yang masih bersih fitrahnya akan meyakini bahwa Allah itu
di atas. Bahkan tidak jarang kita dengar sebagian orang yang notabene
jauh dari aktifitas agama kalau menemukan masalah atau musibah, maka dia
pun berkata, "Ya kita serahkan saja pada yang di atas."
Itu beberapa contoh pemelintiran ayat yang dilakukan oleh sebagian
orang. Mereka mengira bahwa apa yang mereka yakini adalah benar, namun
ternyata keliru. Sungguh malang keadaan yang menimpa mereka, semoga
Allah memberikan petunjuk-Nya kepada kita dan mereka.
Menyingkirkan yang jelas dan menonjolkan yang samar
Pembaca sekalian, semoga Allah mengarahkan gerak langkah kita di atas
jalan-Nya. Salah satu ciri paling menonjol yang dimiliki oleh kaum ahlul
bid'ah (penyeru kebid'ahan) dari sejak dulu hingga sekarang adalah
gemar menggunakan dalil-dalil yang masih samar untuk mendukung pemikiran
mereka dan kemudian menyingkirkan, menutup-nutupi, atau menyimpangkan
makna dalil-dalil lain yang sudah tegas dan jelas. Seperti contoh kasus
yang dibawakan di atas. Dalil yang samar itu biasa disebut sebagai
ayat-ayat yang mutasyabih, sedangkan dalil yang jelas itu biasa disebut
sebagai ayat-ayat yang muhkam. Allah telah menjelaskan hal ini di dalam
firman-Nya,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ
هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي
قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ
الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
"Dialah -Allah- yang telah menurunkan kepadamu Kitab suci itu, di
antaranya ada ayat-ayat yang muhkam yaitu Ummul Kitab sedangkan yang
lain adalah ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam
hatinya menyimpan penyimpangan/zaigh maka mereka akan mengikuti ayat
yang mutasyabih itu demi menimbulkan fitnah dan ingin menyimpangkan
maknanya..." (QS. Ali Imran: 7)
Ibnu Juraij menjelaskan maksud ungkapan 'orang-orang yang di dalam
hatinya tersimpan penyimpangan' di dalam ayat ini, "Mereka itu adalah
orang-orang munafik." Hasan al-Bashri berkata, "Mereka itu adalah kaum
Khawarij." Qatadah apabila membaca ayat tersebut maka beliau mengatakan,
"Apabila mereka itu bukan Haruriyah (Khawarij, pen) dan Saba'iyah
(Syi'ah, pen) maka aku tidak tahu lagi siapakah mereka itu." al-Baghawi
berkata, "Ada pula yang berpendapat bahwa ayat ini mencakup semua ahli
bid'ah." (Ma'alim at-Tanzil karya Imam al- Baghawi [2 /9] as-Syamilah)
'Aisyah radhiyallahu'anha meriwayatkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda,
فَإِذَا رَأَيْتِ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكِ
الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ
"Apabila kamu melihat orang- orang yang mengikuti ayat-ayat
mustasyabihat maka mereka itulah orang-orang yang disebut oleh Allah -di
dalam ayat tadi- maka waspadalah kamu dari bahaya mereka." (HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dll)
Penulis syarah Sunan Abu Dawud berkata, "Ayat ini berlaku umum bagi
semua kelompok yang melenceng dari kebenaran yaitu dari kalangan
kelompok- kelompok bid'ah. Sesungguhnya mereka itu sering mempermainkan
Kitabullah dengan permainan yang sangat keterlaluan, kemudian mereka
menarik kesimpulan hukum dari ayat-ayat itu yang sebenarnya sama sekali
tidak mengandung penunjukan atas apa yang mereka yakini, namun hanya
demi menyembunyikan kebodohan diri mereka." (Aun al- Ma'bud [10 /117]
as-Syamilah)
Nah, inilah yang terjadi. Jarang sekali ada orang yang berbuat bid'ah
-terutama tokohnya- tidak membawakan ayat atau hadits untuk mendukung
keyakinan dan pemahaman mereka yang keliru. Sehingga alangkah tidak
tepat apabila ada orang yang berkeyakinan, "Yang penting kan ada
dalilnya." Atau berkata, "Kamu ini jangan suka menyalahkan orang lain.
Kebenaran itu milik Allah, bukan milik kamu!". Atau dengan ungkapan,
"Mbok ya toleransi dengan orang lain yang berbeda pendapat denganmu.
Jangan jadi orang yang maunya menang sendiri." Ada lagi yang berujar,
"Yang penting kan niatnya. Innamal a'malu bin niyat, iya kan?!". Atau
berkata, "Jadi orang itu jangan picik, semua orang 'kan bebas
berpendapat." Dan seabrek celotehan lain yang pada hakikatnya adalah
bertujuan untuk menyimpangkan manusia dari jalan kebenaran. Orang yang
tidak mengerti akan manggut-manggut dan takluk di bawah silat lidah
mereka yang tidak bermutu itu. Allahul musta'an (Allah semata tempat
kita minta pertolongan).
Salah penafsiran
Untuk menunjukkan kepada pembaca sekalian tentang bukti kejahatan kaum
ahli bid'ah ini terhadap dalil syari'at maka berikut ini kami bawakan
sebuah ayat yang dicomot oleh sebagian kalangan untuk membela pendapat
yang menyatakan bahwa terorisme itu adalah bagian dari ajaran Islam.
Allah ta'ala berfirman,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ
الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
"Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka -musuh- kekuatan apa saja
yang kalian sanggupi, kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuh
kalian..." (QS. al-Anfal: 60).
Mereka menafsirkan kata irhab (menggentarkan musuh) di dalam ayat ini
dengan istilah teror. Sehingga melakukan teror kepada orang-orang kafir -
selama mereka dianggap 'memusuhi' Islam- adalah sah-sah saja, bahkan
berpahala karena itu adalah bagian dari jihad. Bagaimana kita menjawab
syubhat/kerancuan ini?
Syaikh Abdullah bin al-Kailani berkata menjelaskan maksud ayat ini,
"Sesungguhnya irhab/menggentarkan yang diperintahkan sebagaimana tertera
di dalam al-Qur'an al- Karim itu khusus berlaku bagi orang-orang
[kafir] yang melampaui batas dengan tujuan memalingkan mereka dari
tindakan permusuhan yang mereka lakukan di saat hal itu mereka
lancarkan (di saat perang maksudnya, pen). Akan tetapi maksud irhab di
sini bukanlah irhab/teror yang sengaja melanggar batas sebagaimana yang
dimaknakan di masa kini yang pada hakikatnya justru ditolak oleh ajaran
Islam." (al-Irhab wal Unuf wa at- Tatharruf fi Dhau'i al-Kitab wa
as-Sunnah, hal. 12 as-Syamilah)
Oleh sebab itu Majma' al-Fiqhi al- Islami dalam konferensi ke-13 yang
diselenggarakan pada tanggal 26 Syawwal 1422 H (10 Januari 2002) di
Rabithah al- 'Alam al-Islami di Mekah Mukarramah telah menetapkan
bahwasanya gerakan radikal, mengumbar kekerasan, dan terorisme sama
sekali tidak termasuk bagian dari ajaran Islam. Lembaga ini juga
menyatakan bahwa perbuatan itu adalah tindakan yang membahayakan serta
menimbulkan dampak yang buruk dan keji. Di dalamnya terkandung tindakan
yang melampaui batas dan kezaliman terhadap manusia (lihat al-Irhab,
al-Mafhum wa al- Asbab wa Subul al-'Ilaj, hal. 16 as-Syamilah)
Syaikh Abdurrahman bin Mu'alla al-Luwaihiq menjelaskan bahwa dengan
pengkajian lebih dalam dapat disimpulkan bahwa sebagian sisi persoalan
terorisme ini telah dibahas oleh para ulama aqidah dan fiqih serta telah
dijelaskan hukum-hukumnya di dalam bab khusus yang dinamai Bab Qital
ahlil baghyi yang artinya: memerangi pembuat kekacauan (al-Irhab wa al-
Ghuluww, hal. 28 as-Syamilah). Dan dari sisi yang lain orang- orang
yang melakukan teror ini pun dapat dikategorikan sebagai pengusung paham
Khawarij, penebar kerusakan di atas muka bumi, dan termasuk kategori
orang yang bertindak ghuluw/melampaui batas. Yang jelas Allah ta'ala
tidak mencintai orang-orang yang membuat kerusakan. Allah ta'ala
berfirman,
وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْمُفْسِدِينَ
"Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang menebarkan kerusakan." (QS. al- Qashash: 77)
Bahkan Allah memberikan hukuman yang sangat keras bagi orang-orang yang
gemar menebar teror dan kerusakan di muka bumi ini. Allah ta'ala
berfirman,
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ
فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ
أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ
ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ
عَظِيمٌ
"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang,
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka
berhak memperoleh siksaan yang besar." (QS. al-Ma'idah: 33)
Di dalam tafsirnya Syaikh as- Sa'di rahimahullah berkata, "Orang-orang
yang memerangi Allah dan rasul-Nya itu adalah orang-orang yang secara
terus terang memusuhi Allah serta membuat kerusakan di muka bumi dalam
bentuk kekafiran, pembunuhan, perampasan harta, maupun menebarkan rasa
takut di jalan-jalan." (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 229-230).
Pendapat yang populer menyatakan bahwa ayat ini berbicara tentang
hukuman yang dijatuhkan kepada perampok. Apabila mereka melakukan
perampokan sekaligus pembunuhan maka mereka berhak untuk dihukum bunuh
dan disalib sebagai pelajaran dan peringatan bagi orang-orang selain
mereka. Apabila mereka membunuh namun tidak merampas harta maka mereka
cukup dihukum bunuh, tanpa disalib. Apabila mereka hanya merampas harta
dan tidak melakukan pembunuhan maka hukuman bagi mereka adalah dipotong
tangan dan kaki mereka secara bersilang, yaitu tangan kanan dan kaki
kirinya yang dipotong. Apabila mereka menakut-nakuti orang tanpa
disertai dengan pembunuhan dan perampasan harta (ancaman bom misalnya,
pen) maka mereka diusir dari negerinya dan tidak boleh menetap terus
menerus di suatu daerah selama taubat mereka belum tampak nyata. Inilah
pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma serta banyak ulama lainnya,
meskipun dalam sebagian perkara mereka berbeda pendapat (Diringkas dari
Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 230).
Kemudian, Syaikh as-Sa'di rahimahullah juga menyampaikan pelajaran yang
sangat berharga -semoga kita bisa meresapi hikmahnya-, "Apabila
kejahatan ini sedemikian besar persoalannya dapatlah diketahui
bahwasanya membersihkan muka bumi ini dari para penebar kerusakan,
menjaga keamanan jalan dari ancaman pembunuhan dan perampokan harta
serta membebaskan cekaman rasa takut dari masyarakat merupakan salah
satu kebaikan yang paling baik, ketaatan yang paling mulia, dan
merupakan bentuk perbaikan di muka bumi. Sebagaimana pula lawannya
dikategorikan sebagai tindak perusakan di muka bumi." (Taisir al-Karim
ar-Rahman, hal. 230).
Inilah kesimpulan cerdas seorang ulama tafsir mumpuni dan memiliki
kapasitas untuk berijtihad seperti beliau. Amat berbeda dengan
kesimpulan penafsiran yang dilontarkan oleh sebagian orang yang dijuluki
sebagai ustadz dan kiyai tapi tidak mengerti manhaj/metode penafsiran
yang benar terhadap ayat-ayat dan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam. Setelah merenungkan hal ini baik-baik, kita sangat berharap agar
saudara kita yang salah jalan -dan masih hidup- mau menyadari
kekeliruannya, bertaubat, dan segera kembali kepada jalan yang lurus,
yaitu jalannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
sahabatnya. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa
sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar