Sudah lama dan sering saya dengar atsar
yang menceritakan kisah Ibnu Umar dengan seorang pengembala kambing,
terutama saat menjadikannya dalil tentang bolehnya menyatakan ”di mana
Allah” dan bahwa Allah itu di langit, sebagai bantahan terhadap klaim
sebagian orang yang mengatakan tidak boleh bertanya atau mengatakan
”dimana Allah”.
Tapi kali ini fokus bahasannya bukan
masalah itu melainkan renungan akan makna dan kandungan hadits dalam
kehidupan sehari-hari.
Ketika sedang melaksanakan rutinitas
menerjemah kitab saya kembali bertemu hadits ini dari kitab Syu’ab Al
Iman tulisan Al Imam Al Hafizh Al-Baihaqi.
Abu Nashr bin Qatadah mengabarkan kepada kami, Abu Ahmad Al
Hafizh menceritakan kepada kami, Abu Al Abbas Ats-Tsaqafi mengabarkan
kepada kami, Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Al Khunaisi
yakni Muhammad bin Yazid bin Khunais menceritakan kepada kami, dari
Abdul Aziz bin Abi Rawwad, dari Nafi’, dia berkata, “Ibnu Umar keluar ke
salah satu pelosok kota Madinah bersama beberapa orang sahabatnya. Lalu
mereka meletakkan bekal makanan untuknya. Kemudian lewatlah seorang
pengembala kambing di hadapan mereka. Si pengembala ini memberi salam
dan Ibnu Umarpun berkata padanya, “Hei Pengembala, marilah ke sini makan
bersama kami.” Dia menjawab, “Saya sedang puasa.” Mendengar itu Ibnu
Umar berkata padanya, “Di hari panas terik begini kamu masih puasa
padahal kamu sedang mengembala kambing?” Dia menjawab, “Demi Allah, saya
berlomba dengan hari-hari hayalan saya.”
Ibnu Umar kemudian
tergerak untuk mengujinya lalu dia berkata, “Maukah kamu menjual sati
ekor kambing yang kamu gembalai ini kepada kami, kami memberi kamu
uangnya dan membagikan dagingnya kepadamu lalu kamu bisa berbuka puasa
dengannya?” Si Pengembala ini menjawab, “Ini bukan kambing saya, ini
kambing tuan saya.” Ibnu Umar berkata lagi, “Aku rasa tuanmu tidak akan
berbuat apa-apa kalau hilang satu dan kamu katakan dimakan srigala.”
Akhirnya si pengembala
ini meninggalkan Ibnu Umar sambil menunjukkan jarinya ke langit dan
berkata, “Allah dimana?”
Ibnu Umar lalu mengulang-ngulang
kata-kata si pengembala tadi, “Allahnya di mana?!” akhirnya ketika
sampai di Madinah dia mengutus orang menemui tuan si pengembala tadi dan
membeli kambing beserta si pengembala tersebut (yang tadinya adalah
budak –penerj) lalu memerdekakannya dan memberikan kambing-kambing itu
untuknya.”
Hadits ini juga dikeluarkan oleh
Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (12/263) dengan redaksi lebih
ringkas dengan sanad:
Muhammad bin Nashr Ash-Sha`igh menceritakan kepada kami, Abu
Mush’ab menceritakan kepada kami, Abdullah bin Harits Al-Jumahi
menceritakan kepada kami, Zaid bin Aslam menceritakan kepada kami, dia
berkata, Ibnu Umar melewati seorang pengembala….” Selanjutnya mirip
dengan riwayat Al Baihaqi di atas.
Sanad Ath-Thabarani ini shahih:
Zaid bin Aslam memang biasa meriwayatkan dari
Abdullah bin Umar yang memang merupakan gurunya. (Lihat Tahdzib Al-Kamal
10/13).
Abdullah bin
Harits, tsiqah sebagaimana dikatakan oleh Al-Haitsami dan Al-Hafizh Ibnu
Hajar mengatakannya shaduq sebagaimana dalam At-Taqrib 1/324, no. 3613,
Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat dan dia memang biasa
meriwayatkan dari Zaid bin Aslam sebagaimana kata Al-Mizzi dalam Tahdzib
Al-Kamal jilid 14 hal. 35.
Abu Mush’ab di sini adalah Ahmad bin Abi Bakr bin Harits bin
Zurarah bin Mush’ab bin Abdurrahman bin Auf, seorang ahli fikih yang
jujur. Lihat At-Taqrib 1/25, no. 18.
Dan guru Ath-Thabarani adalah Muhammad bin Nashr
Ash-Sha`igh, Ad-Daraquthni menganggapnya shaduq, ahli ibadah. Lihat
Tarikh Bagdad 3/319.
Renungan:
Banyak hikmah dan pelajaran yang
terkandung dalam kisah Ibnu Umar dan si pengembala ini. Kita akan sangat
terharu ketika Ibnu Umar menguji si pengembala yang masih merupakan
budak belian ini untuk menghianati majikannya dengan menjual kambing dan
membohongi bahwa kambing itu dimakan srigala. Dia menolak dan penuh makna menatap ke langit
sambil mengatakan: “Kalau begitu dimana Allah?” Artinya tuan saya memang
tak melihat dan bisa saja saya tipu, tapi Allah tetap melihat dan suatu
saat di pengadilan akhirat akan memberitahu kepada tuan saya itu dan
menuntut saya karenanya.
Sebuah tingkat keimanan tertinggi
ketika seseorang sudah merasa diawasi oleh sang khaliq yang maha
mengetahui, sehingga tak berharga semua tawaran duniawi kalau toh
akibatnya harus dihukum oleh Allah di akhirat nanti.
Tampak pula kemuliaan
hati seorang sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, Abdullah bin
Umar bin Khaththab bersedia mengajak makan sang pengembala miskin yang
hanya seorang budak, lalu tergetar hatinya kala mendengar nama Allah
disebut dan bersegera menolong agama Allah dengan cara memerdekakan si
budak tadi serta memberinya hadiah berupa kambing gembalaan sang budak
itu sendiri.
Beginilah kalau takwa selalu dibawa
kemana pergi, si budak pengembala tentu tak mengira kalau sikap amanah
dan ketakutannya kepada Allah akan diganjar tunai melalui perantaraan
Ibnu Umar ra yang membebaskannya dari perbudakan. Tak sampai di situ dia
juga tak dipisahkan dari kambing-kambing kesayangan yang telah menjadi
teman hidupnya sehari-hari. Biasalah, kalau seseorang sudah lama
mengurus suatu benda tentu dia akan sangat sayang pada benda itu meski
bukan miliknya. Andai suatu ketika dia harus meninggalkan pekerjaan maka
pastilah dia akan selalu terkenang dengan barang yang dia kerjakan.
Satu lagi bukti firman
Allah, ”Barangsiapa bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberinya
jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tak dia sangka.....”
(Qs. Ath-Thalaq : 2-3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar